Matahari terik membakar jalan tanah di pinggir desa. Beberapa pemuda menghentikan motornya di bawah naungan pohon beringin yang rindang. Mereka melepas topi dan blangkon, wajah mereka merah oleh panas. Melihat sebuah gubuk kayu sederhana di depan, mereka memutuskan untuk singgah melepas lelah.
Di dalam gubuk, seorang pria tua sedang duduk di atas bangku panjang. Rambutnya yang memutih tampak acak-acakan, peluh mengalir dari pelipisnya membasahi kemeja lusuhnya yang lekat di badan. Dengan gerakan lamban, ia mengipaskan topi lebar anyamannya ke arah dada untuk mencari angin.
"Duh, panas sekali hari ini. Selamat siang, Pak. Boleh kami numpang istirahat sebentar?" sapa salah satu pemuda itu dengan ramah, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat.
Sang kakek mengangkat kepalanya, senyum hangat mengembang di wajahnya yang berkeriput. "Oh iya, nak, silahkan! Monggo-monggo... istirahatlah di sini. Gubuk ini memang tempatnya orang ngaso," ujarnya sambil memberi isyarat pada bangku kosong di hadapannya.
Para pemuda itu duduk. Pandangan salah seorang dari mereka, sebut saja Rudi, tertarik pada tumpukan umbi-umbian yang menggunung di sudut gubuk. "Wah, hasil bumi yang melimpah, Pak. Ini baru digali semuanya?" tanya Rudi penasaran.
Pak Tua itu terkekeh kecil, matanya berbinar. "Oh, kamu ini bisa aja," godanya. "Saya mah udah tua, nak. Nggak perlu lagi turun ke lubang nggali umbi. Lihat saja di sekeliling gubuk ini, tanahnya subur. Banyak yang tumbuh dengan sendirinya!"
"Oh, jadi ada yang bantu, Pak? Anak-anak atau tetangga?" sambar pemuda lainnya, bernama Andi.
"Tergantung musim, nak," jawab Pak Tua bijak. "Kalau musim hujan, tanah jadi keras, butuh bantuan. Tapi di musim kemarau seperti sekarang, tanahnya gembur. Cukup dicabut pelan-pelan saja sudah bisa dapat banyak."
Dengan penuh semangat, Pak Tua bangkit dan mengajak mereka ke pinggir kebun. Ia memegang sebatang tanaman yang daunnya masih segar. "Nih, coba kalian pegang batangnya... iya, berdua. Sekarang angkat pelan-pelan."
Rudi dan Andi memegang dan menariknya dengan hati-hati. Dengan suara gesekan tanah yang ringan, seikat umbi-umbian yang segar dan utuh terangkat dengan mudah dari dalam tanah. Mata mereka membelalak kagum.
"Lho, gampang banget, Pak!" seru Rudi.
"Hebat! Mungkin Bapak ini sakti, Bro, jadi tanamannya pada nurut," canda Andi kepada temannya sambil tertawa.
Pak Tua hanya tersenyum simpul, tetapi senyum itu segera memudar digantikan bayangan kesepian. "Sakti? Ah, tidak juga," ujarnya pelan. "Maksud Bapak tadi 'sendiri' itu... ya, bener. Anak-anak Bapak semuanya di kota. Ada yang masih kuliah, ada yang sudah berkeluarga dan sibuk dengan pekerjaannya. Mau tidak mau, ya semuanya dikerjain sendiri."
Para pemuda itu terdiam, merasakan sepenggal kisah hidup yang tiba-tiba tersingkap.
Setelah beberapa saat beristirahat dalam keheningan yang nyaman, mereka pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan. "Pak, kami pamit. Mau lanjut jalan-jalan ke bukit itu sana," kata Rudi sambil menunjuk ke arah perbukitan.
Pak Tua mengangguk, lalu menatap mereka dengan penuh kebapakan. "Iya, nak. Hati-hati di jalan. Dan yang paling penting, jaga lisan kalian. Perkataan yang baik itu akan membuat perasaan tetap nyaman sepanjang perjalanan."
"Terima kasih, Pak. Nasihatnya akan kami ingat," jawab mereka serempak sebelum menyalakan motor dan melaju perlahan, meninggalkan gubuk tua yang penuh keteduhan itu.
"Beginilah keseharian....
Kami pada umumnya "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar