🏃untung Musim Apa?

 Matahari terik membakar jalan tanah di pinggir desa. Beberapa pemuda menghentikan motornya di bawah naungan pohon beringin yang rindang. Mereka melepas topi dan blangkon, wajah mereka merah oleh panas. Melihat sebuah gubuk kayu sederhana di depan, mereka memutuskan untuk singgah melepas lelah.

Di dalam gubuk, seorang pria tua sedang duduk di atas bangku panjang. Rambutnya yang memutih tampak acak-acakan, peluh mengalir dari pelipisnya membasahi kemeja lusuhnya yang lekat di badan. Dengan gerakan lamban, ia mengipaskan topi lebar anyamannya ke arah dada untuk mencari angin.

"Duh, panas sekali hari ini. Selamat siang, Pak. Boleh kami numpang istirahat sebentar?" sapa salah satu pemuda itu dengan ramah, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat.

Sang kakek mengangkat kepalanya, senyum hangat mengembang di wajahnya yang berkeriput. "Oh iya, nak, silahkan! Monggo-monggo... istirahatlah di sini. Gubuk ini memang tempatnya orang ngaso," ujarnya sambil memberi isyarat pada bangku kosong di hadapannya.

Para pemuda itu duduk. Pandangan salah seorang dari mereka, sebut saja Rudi, tertarik pada tumpukan umbi-umbian yang menggunung di sudut gubuk. "Wah, hasil bumi yang melimpah, Pak. Ini baru digali semuanya?" tanya Rudi penasaran.

Pak Tua itu terkekeh kecil, matanya berbinar. "Oh, kamu ini bisa aja," godanya. "Saya mah udah tua, nak. Nggak perlu lagi turun ke lubang nggali umbi. Lihat saja di sekeliling gubuk ini, tanahnya subur. Banyak yang tumbuh dengan sendirinya!"

"Oh, jadi ada yang bantu, Pak? Anak-anak atau tetangga?" sambar pemuda lainnya, bernama Andi.

"Tergantung musim, nak," jawab Pak Tua bijak. "Kalau musim hujan, tanah jadi keras, butuh bantuan. Tapi di musim kemarau seperti sekarang, tanahnya gembur. Cukup dicabut pelan-pelan saja sudah bisa dapat banyak."

Dengan penuh semangat, Pak Tua bangkit dan mengajak mereka ke pinggir kebun. Ia memegang sebatang tanaman yang daunnya masih segar. "Nih, coba kalian pegang batangnya... iya, berdua. Sekarang angkat pelan-pelan."

Rudi dan Andi memegang dan menariknya dengan hati-hati. Dengan suara gesekan tanah yang ringan, seikat umbi-umbian yang segar dan utuh terangkat dengan mudah dari dalam tanah. Mata mereka membelalak kagum.

"Lho, gampang banget, Pak!" seru Rudi.

"Hebat! Mungkin Bapak ini sakti, Bro, jadi tanamannya pada nurut," canda Andi kepada temannya sambil tertawa.

Pak Tua hanya tersenyum simpul, tetapi senyum itu segera memudar digantikan bayangan kesepian. "Sakti? Ah, tidak juga," ujarnya pelan. "Maksud Bapak tadi 'sendiri' itu... ya, bener. Anak-anak Bapak semuanya di kota. Ada yang masih kuliah, ada yang sudah berkeluarga dan sibuk dengan pekerjaannya. Mau tidak mau, ya semuanya dikerjain sendiri."

Para pemuda itu terdiam, merasakan sepenggal kisah hidup yang tiba-tiba tersingkap.

Setelah beberapa saat beristirahat dalam keheningan yang nyaman, mereka pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan. "Pak, kami pamit. Mau lanjut jalan-jalan ke bukit itu sana," kata Rudi sambil menunjuk ke arah perbukitan.

Pak Tua mengangguk, lalu menatap mereka dengan penuh kebapakan. "Iya, nak. Hati-hati di jalan. Dan yang paling penting, jaga lisan kalian. Perkataan yang baik itu akan membuat perasaan tetap nyaman sepanjang perjalanan."

"Terima kasih, Pak. Nasihatnya akan kami ingat," jawab mereka serempak sebelum menyalakan motor dan melaju perlahan, meninggalkan gubuk tua yang penuh keteduhan itu.


 "Beginilah keseharian....

Kami pada umumnya "


The Power of Love Expression

without you... on sandy shores I stand, Since morning's earliest light in hand, Each step, a moment, I entwine, Waiting for you, heart and mind. The waves caress the beach's face, A soothing serenade, a gentle pace. The sun casts shadows, warm and bright, A perfect scene, a peaceful sight. In solitude, I breathe the sea, Anticipating your presence, wild and free. My footsteps mark the sandy floor, A path unwinding, to our shore.

%s

UJUNG POLEMIK 

Sementara semua sedang ingin melihat 

Yang dibayangkan mereka merupakan bagian terindah dan terbaik 

Namun keinginan itu tidak selalu...., menjadi sama dengan inginya pemilik ;

Usaha menutupinya tidak pernah dianggap main-main, tidak pula melulu gratis ;

Jangankan sembarang menjamah, menyebutnya pun tak pelak mendapat tangkis;

Orang kemudian tidak sebatas punya anggapan, ketika semua telah teraba demikian, tentang satu bagian dan bagian lain yang berpasangan dalam membawa sederhanannya logika guna mencapai penalaran....

Bukan kebalikan mengecilkan yang mendasar, bukan lagi menjadi yang di ujung tinggi tidak mampu lagi melihat dasar yang harus lebih lebar, rumusan kekuatan yang tidak boleh dihindar, semua yang dilihatnya seolah hanya anggapannya dan bukan kenyataan.... 

Mendekati  logika terbaliknya?


Tak Lupa

Lagi Fresh: Biar Tak Lupa: Sedikit demi sedikit  Begitu perubahan terjadi  Sering tiada terasa  Baru tersadar  Saat melihat gambar lama  Bagai masih kemarin saja  Semu...

==::::

Ini menghentikanku..
Sejenak...
Cover ... ya itulah selimut alam 
Pemukau setiap langkahku 
Memberikan asupan pada setiap perjalanan 
Bentangan kehijauan selalu jadi dambaan 
Mata ini untuk selalu kembali, 
Padanya... yang dengan leluasanya hidup 
Tiada padanannya dengan pembungkus biasa, yang dibuat dengan tangan mengemas hadiah, tanda cinta ataupun kenangN...
Tiada pula hanya sebagai bagian penutup mulut yang mudah terbuka setiap saat...
Kehidupan bebas yang melindungi kehidupan di dalamnya, melahirkan ragam kehidupan baru di sekitarnya semua terbungkus dalam kesegaran hidupnya..
Setiap melaluinya selalu saja sapanya menerpa setiap rongga tubuh pemilik rasa tanpa terkecuali, seperti lembah ini mengerti akan semua perindunya..




Pertanyaan Orang Setempat

Dengan berulang bertemu
Dengan banyak orang di tempat itu
Sebanyak itu pula jawaban keluar 
Harus mengalir sama untuk diberikan 
Kepada orang asli yang dikenali ramah 

Pengikut lain sebagai yang tidak biasa 
Dengan keramahan itu multi gundah 
Apa urusan mereka tanya demikian 
Jelas-jelas udah kelihatan sekali 
Apabila mau tau setiap urusan orang 

Dikira apa kita kesana 
Udah jelas ada ditangan 
Bawaan dan arahnya tujuan
Alat yang umum untuk mengail 
Masih semua bertanya mau kemana....

Obrolan kurang kerjaan 

Yang ngerti cuma senyum 
Juga mendiamkan ...
Saran kecil menyuruhnya diam 
Biarkan kalau memang mau 
Dianggap bukan manusia....


 

Danau Asli

Menunggu apalagi 

Ini sudah tempat yang baik 

Bahkan dibilang yang terbaik 

Untuk mandi atau berendam

Air bening alami 

Bukan danau buatan 

Apalagi bendungan 


Perbedaan dengan yang lain sudah jelas langsung terlihat 

Pilihan untuk kelanjutan bisa diperhitungkan 

Sementara, istirahat menyegarkan diri penting dapat kesempatan 

udara tidak terasa dingin sangat cocok membersihkan dengan masuk dan mandi di sana 

Selamanya cuaca seperti ini jarang dijumpai berlangsung lama, maka jangan sia -siakan demikian kata pemandu mengarahkan agar semua dapat bergerak cepat.

Namun pilihan tetap milik masing -masing sesuai kebutuhannya. Siapa tahu ada yang memilih untuk makan atau berbaring agar kelelahan berkurang dan badan kembali bugar.


Pengecapan

Tiada hasrat kembali 
Pada sepakatnya mata
Seutuh pendapatnya berbunyi 
Untuk memutus arah bicara 
Memilih arah  wisata bahari 

Terasa sejak jumpa diawal 
.(:-(:-|
Manisnya langsung kelihatan
Dirasa tidak tahu oleh mereka
Untung yang dipetik dari legitnya 
Dibumbu omong kosong sambil makan 
Malam tidak segera larut
Demi sebuah kekosongan saja 
Acara demi acara tanpa terasa usai 

Hingga ketukan lonceng menyadarkan
Jarum jam sudah nenghentikan sejenak 
Memberi tahu semua mata semakin melihat 
Ia sudah semakin jauh berputar..
Mungkin ada kata sudah untuk penantian lama para pencari hiburan mendudukkan dirinya di sana.

Apa Iya Barter Cenil &g Logam Mulia?

di tengah suara-suara permainan
yang dimiliki zaman
meleburkan peran dengan halusnya 
mendarah dalam daging penghuni 
memainkan setiap angan pemeran 
Untai juang dan pengabdian 
Propaganda dan keuntungan 
Haruskah dalam lakon bagai pariwara
....
Kedatangan yang diikuti keramaian
dibelakangnya selaksa arak-arakkan
gemerincing dan ramainya tetabuhan
memasuki  pasar yang dikenal sangat kental
dengan cara orang memandang kelokalan
hingga disana dinamai suasana tradisional
kekar dalam langkah punya perjalanan
tiada yang berani menyebut bawaan sebagai rampasan
manis akan memanis jika itu disebut bagian keuntungan
----
kian menipis
kian menyepi
kepadatan berkurang
lalu lalang merenaggang
pemandangan melonggarkan
hirupan napas melegakan 
mata punya pemandangan
semakin lapang rimbun kehijauan 
asri oleh tanaman subur dan pepohonan
meskipun masih tetap ada satu dua penjaja
dengan aneka rupa dan kebutuhan yang ditawarkan....
''''''
dengan suara lantang
dipenuhi keramahan pada penjaja tua
kesatria perkasi mendekati membawa bungkusan
warna-warni indah seempuk pandangan dirancang buat
membungkus dengan kisah medernitas negeri seberang
mengolah semua bahan hingga memudah saudara menelan
nasib sikeriput yang telah layu giginya berhadapan...
pandangan sejuk dan keramahan situa...
tiada menyebut kepongahan pemuda mendekatinya
memaksakan tipu murahan dengan picik pertimbangan
sama-sama dari dalam tanah disepadankan dengan sangat naif...
senaif ia mempertontonkan kebodohannya dengan modernitas...
manisnya muslihat yang sangat dangkal itu dibiarkannya...
ia pergi mengambil logam mulia yang katanya tidak bisa dikunyah...
ini saja....! sebungkus rampasan ditinggalkannya dengan parutan kelapa....
berceceran bagai lukisan sirenta mengeja pemaksaan yang bukan lagi lucu....
jika ia menamai ketidak adilan....
ia pula yang ada menghentikan,... kekuatannya
berlari sejauh apa dari tempat itu....
karena ia adalah ia sang pelantun yang hanya memberinya hiburan
disela pelariannya.... yang tada akan punya tempat akhir yang kau bayangkan sempit....
seperti pikiranmu yang sering tiada akan menjangkaunya......